Mimpi 10. Berlabuh di Pulau Bintan

Bintan, Juni 2018...

Kapal KM Kelud yang membawa Rassy, ibunya, juga ribuan penumpang lain, menepi di dermaga Kijang pukul 23.30. Setelah beberapa hari lalu lepas landas dari pelabuhan Tanjung Priok.

Tanah Jawa tepatnya kota Surakarta, tertinggal jauh ribuan mil di belakang sana. Semua cerita ikut berlayar. Dan lembaran baru benar-benar dimulai saat kaki Rassy menyentuh tanah di kota Kijang.

"Pakdemu mana ya, Ras," gumam Bu Qia dengan pandangan menyapu seluruh penjuru pelabuhan yang luas itu.

Rassy hanya diam. Mengikuti setiap gerak langkah ibunya, juga mengamati aktivitas di sekitar dermaga menuju pergantian hari. Ah, sebenarnya diamnya gadis pecinta sepak bola itu bukan karena ketakjuban pemandangan kota Kijang. Melainkan sebuah bentuk pemberontakan sejak seminggu lalu, saat Bu Qia mengutarakan keinginan untuk pindah ke Pulau Bintan.

Namun diam yang sebagai simbol penolakan, tak juga menyentuh perasaan ibunya agar membatalkan kepindahan mereka. Dan pada akhirnya, dengan berat hari menetap di Surakarta bukan lagi menjadi pilihan. Akan hidup dengan siapa Rassy di sana? Sedangkan satu-satunya bagian dari keluarga di kota Surakarta yang dia miliki hanya Bu Qia; ibunya.

"Kita pasti pulang ke Surakarta kan, Bu?" tanya Rassy disela mencari Pakde.

Bu Qia menghentikan langkah dan berbalik menghadap putrinya. "Belum genap lima menit kita menginjakkan kaki di Provinsi ini, kamu udah tanya tentang pulang?" Bu Qia menatap dengan keteduhan. "Ingat Ras, kita datang ke sini dengan tujuan baik. Memberikan bantuan untuk pendidikan di salah satu desa tertinggal di daerah ini."

"Itu kan tugas Ibu, bukan tugas saya."

Pada saat kalimat Rassy selesai diucapkan, seorang pria berusia 40 tahunan datang menghampiri, dengan sebuah senyum ramah dan wajah sumringah menyambut kedatangan Bu Qia dan Rassy.

Pertemuan dipergantian hari melebur dengan haru. Terkecuali Rassy yang masih setia dengan diamnya.

*

Sudah setengah hari, Rassy dan Bu Qia berada di Pulau Bintan. Selama waktu itu, Bu Qia menghabiskan waktu dengan berkeliling Kampung Nelayan; tempat mereka tinggal sekarang—sambil berkenalan dengan penduduknya yang menyambut ramah dan tangan terbuka.

Sedangkan Rassy, menghabiskan waktunya di dalam kamar. Terbaring dengan macam-macam pikiran. Sesekali gadis itu menuju ambang jendela. Melihat debum ombak yang menghantam pelataran kayu yang menghubungkan antara satu rumah dengan rumah lainnya.

"Hai, Rassy..." sapa Ninda untuk kesekian kali sejak tadi pagi matanya terbuka.

Rassy tak bergeming. Pandangannya terus terarah pada atap kamar.

"Ikut aku, yuk. Biar aku kenalin kamu sama teman-teman," ajak Ninda dibubuhi senyuman lebar. "Mereka semua enggak sabar pengen kenalan sama kamu. Soalnya kampung ini tak pernah kedatangan orang dari tanah Jawa."

Debum ombak terdengar amat jelas. Rumah-rumah di Kampung Nelayan adalah rumah panggung yang dibangun di atas laut. Penduduk laki-laki, baik remaja tanggung atau yang sudah berkeluarga, banyak yang berprofesi sebagai nelayan. Keterbatasn ekonomi yang dialami setiap kepala keluarga, membuat anak-anak mereka banyak yang tidak mengeyam bangku pendidikan.

Ada beberapa. Hanya hitungan jari saja. Salah satunya adalah Ninda.

"Ras, ayok..." desak Ninda sambil menggoyangkan lengan Rassy.

Yang didesak memberikan gelengan lemah. Dan lagi-lagi, hanya kekecewaan yang didapatkan Ninda.

*

Setelah kemarin seharian Rassy hanya terbaring di kamar, fajar pada hari kedua di Pulau Bintan, sesudah melaksanakan sholat subuh, Rassy keluar rumah.

Suasana sepi. Dan saat pintu terbuka, hawa dingin pagi hari di tepi pantai menyapa. Dikejauhan sana, tampak beberapa sampan nelayan yang masih bergelut dengan lautan. Gelap pun masih membungkus. Namun sepagi itu, berbagai aroma masakan berlomba-lomba menyeruak masuk ke indra penciuman.

Namun dalam suasana seperti itu, sendirian pula, yang paling menyita perhatian hati serta pikiran, hanyalah kerinduan yang selalu ingin dinomor satukan.

"Mike buat ape kat sini sendirian? Tak takut ke? Masih gelap ni," tegur seorang remaja laki-laki yang membawa ember bekas cat.

Rassy hanya menoleh sekilas lalu kembali hanyut dengan pemandangan di depan.

"E..." remaja laki-laki itu menggaruk tengkuknya. "Mike... anaknya Bu Qia, ye? Guru baru di kampung ni," tanyanya.

Gadis itu menghentikan pandangan pada lautan. Kakinya kembali melangkah. Entah untuk ke tempat mana.

"Saye Hilman," kata remaja laki-laki itu saat Rassy sudah dua meter melangkah.

Rassy menghentikan langkah dan membalikkan tubuh. "Tapi saya enggak tanya nama kamu," katanya cuek.

"Untuk berteman baik, kite harus saling tau name masing-masing."

"Saya enggak mau berteman dengan siapa pun," tegas Rassy.

Hilman terkejut mendengar penuturan gadis itu. Dengan ekspresi dinginnya, Rassy melanjutkan langkah.

Untuk Rassy, itu yang dipilih dan ingin dijalani saat ini. Menikmati kesendirian. Mungkin, juga sebagai bentuk pemberontakan. Bahwa kenyamanan ruang, tempat, dan teman, hanya ada di Surakarta.

Hidup selalu begitu bukan? Tak pernah lepas dari bayang-bayang yang sudah tertinggal di belakang.

***

Related Posts

Subscribe Our Newsletter