Mimpi 11. Babak Kedua di Pulau Bintan

Pelataran kayu tempat Rassy melangkah bergetar. Disebabkan segerombolan anak kecil berlarian sambil tertawa-tawa. Ada rasa kesal yang seketika menggumpal dalam perasaan gadis itu. Kenapa ia sudah tumbuh sebesar ini? Lengkap dengan berbagai permasalahan yang silih berganti berdatangan. Dan pastinya semakin merumitkan kepalanya dalam mengurai satu persatu permasalahannya, karena semakin lama levelnya menjadi meningkat.

Pada akhirnya Rassy berhenti berjalan setelah entah berapa banyak langkah tak bertujuan yang dilangkahkan.

Rassy mendudukkan diri di tepi pelataran kayu. Matahari pagi menyambut para nelayan yang baru pulang mengarungi lautan. Ada yang pulang membawa berember-ember ikan, dan ada yang kembali dengan tangan kosong.

"Is, ni anak," gerutu Ninda pelan sambil menghampiri Rassy.

Rassy menoleh sekilas saat Ninda duduk di sebelah kanannya.

"Sepagi ini, tiba mau keluar, menggalau je," omel Ninda. "Sudahlah, Ras. Kat sini, pemudanya tak kalah tampan sama pacar mike di Jawa sana." Ninda mengakhiri kalimatnya dengan tawa.

Tapi tawa dari sepupu Rassy itu terkalahkan dengan pemandangan yang lebih menarik untuk Rassy. Anak-anak kecil yang tadi berlarian di pelataran, sekarang sedang menceburkan diri ke air laut, yang tak jauh dari tempat kedua gadis itu duduk.

Anak-anak kecil dengan celana di atas lutut, berenang dengan lincah. Berulang kali naik ke pelataran, lalu menceburkan diri lagi.

Ninda menyadari arah pandang Rassy. "Mike nak buat macam tu juga?"

"Saya sudah besar," sahut Rassy dingin.

"Tapi bukan berarti dilarang melakukan permainan anak-anak, kan?"


Rassy tak menyahut. Membiarkan perkataan Ninda hilang bersama dengan bunyi cipratan air yang mengeras.

*

Ninda menarik lengan Rassy dan membawa langkah sepupunya ke sebuah warung kayu tepi pantai. Dengan napas tersengal, dia memaksa Rassy duduk di salah satu kursi dari batang pohon kelapa.

Dari tatapan Rassy, Ninda mengerti jika ada tanya kenapa mereka berada di tempat itu.

"Air kelape due, Bar," teriak Ninda.

"Ye," sahut seorang bersuara berat.

Tanpa basa-basi, Ninda mencomot gorengan yang ada dipiring di atas meja. Dimekarkan senyumnya pada Rassy.

"Kita ngapain sih di sini?"

Ninda mengembuskan napas. "Seharian ni, mike jalan keliling-keliling tak bertujuan. Aku capeklah Ras ikutin kamu terus."

"Saya nggak minta kamu ikutin saya."

"Nanti kalau mike nyasar gimana?"

"Saya sudah besar."

"Tapi mike baru kat sini."

Perdebatan kecil itu terhenti, saat anak laki-laki seusia mereka datang dengan dua gelas air kelapa, yang langsung diletakkan di meja.

"Ais... die anaknya Bu Qia tu e?" tanya anak laki-laki.

"Ye," jawab Ninda. "Tak usah kau nak ganggu die. Berani ganggu die," Ninda menggulung lengan bajunya. "Berhadapan same aku."

Mendengar ucapan Ninda dengan nada ancaman, anak laki-laki itu menjitak kepala Ninda. Tak terima dengan perlakuan itu, Ninda membalasnya. Anak laki-laki itu membalas lagi. Begitu terus hingga keduanya tertawa lalu mengakhiri tingkah konyol itu.

"Oh ye, silakan..." kata anak laki-laki itu sambil menggeser gelas berisi air kelapa lebih dekat dengan Rassy.

"Minum, Ras. Nih, ambil je gorengannya sesuka mike," kata Ninda. "Nanti si Akbar bayar," lanjut Ninda sambil melirik anak laki-laki tadi.

"Enak je mike. Yang ade aku pula kena marah sama Mamakku."

"Hahahaha... candalah, Bar."

Anak laki-laki yang bernama Akbar itu, kembali menjitak kepala Ninda. Kali ini sepupu Rassy tidak membalasnya. Dia hanya bersungut kesal.

"Hoi, Akbar..."

Teriakkan itu berasal dari tepi pantai tak jauh dari warung itu. Ada banyak anak laki-laki dari umur 8 sampai seusia mereka.

"Ayok main bola. Jangan pacaran je sama Ninda," teriak seorang anak berkepala botak, yang disambut tawa oleh yang lain.

"Kata nak jadi pemain bola," teriak salah satu anak dengan kulit paling putih di sana.

"Aku jage warung lah. Emak aku lagi ke Uban," balas Akbar.

"Alasan je," seru gerombolan anak laki-laki itu.

"Aku nonton je dari sini," seru Akbar.

"Terserah je lah Bar," sahut mereka.

Mereka membuat lingkaran. Lalu melakukan hom pim pa untuk pembagian tim. Setelah tim terbagi, bola dilempar ke atas. Saat bola menyentuh pasir, permainan pun dimulai.

Si kulit bundar dioper dari satu kaki ke kaki lain, yang berlarian di atas pasir tanpa alas. Setiap perebutan bola, seru-seruan dari mulut mereka tak berhenti terdengar. Setiap pengoperan bola, butiran pasir ikut bertaburan. Ada kemarahan, kekesalan, serta tawa yang dapat jelas dilihat dari tempat Rassy duduk.

Melihat hal itu, membuat rasa ingin mengalaminya tumbuh dalam benak. Selama ini, Rassy tak pernah merasakan bermain bola di pasir. Pada akhirnya, sore ini ditutup dengan kerinduan pada teman-teman bermain bolanya di Surakarta.

Namun, serindu dan seingin apapun, keinginan bermain bolanya sudah mati. Bersama langkah yang telah ditelan oleh ombak saat dia berada di kapal menuju pulau Bintan ini.

"Kok baru pulang? Dari mana aja?"

Pertanyaan itu langsung Rassy dapatkan saat dia tiba di depan rumah, dan mendapati ibunya sedang duduk menikmati secangkir teh dan senja.

"Bukan urusan ibu, kan?" kata Rassy sinis.

"Bisa berhenti untuk enggak bersikap baik sama ibumu, El?"

Rassy mengangguk. "Saat kaki saya menapak di Surakarta lagi," jawabnya dan berlalu pergi.

Hidup selalu mengalami banyak babak. Di babak apapun, yang namanya masa lalu, entah menyenangkan atau menyedihkan, selalu terbawa disetiap babaknya.

Seperti dalam sepak bola yang ada dua babak, hidup Rassy pun sedang memasuki babak kedua. Babak pertama telah berakhir. Berakhir menyakitkan. Jika ingin menjadi pemenang pada pertandingan ini, yang harus dilakukan adalah bangkit dari kekalahan. Memainkan strategi yang tepat. Menjadikan pertandingan babak pertama sebagai acuan perbaikan. Pertandingan yang sudah dilalui dan yang akan dilalui, sama pentingnya. Itukah sebabnya Rassy tak bisa melupakan pertandingan di Surakarta dulu. Saat ini hidupnya sudah memasuki babak lain.

Iya. Dan pertandingan berikutnya di Pulau Bintan ini.

***

Terbaru Lebih lama

Related Posts

Subscribe Our Newsletter